Senin, Oktober 13, 2008

Bila Guru Mangkir ..........

Saat ini terdapat lebih dari 100 juta anak di seluruh dunia yang tidak dapat menikmati pendidikan dasar (UNESCO, 2002). Kebanyakan mereka hidup di negara-negara berkembang dan mayoritas adalah perempuan. Dunia internasional meyakini bahwa pembangunan pendidikan dasar merupakan salah satu strategi penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Di Indonesia, sejak 1984 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun. Kemudian pada 1994, program ini diperluas menjadi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dengan target pada 2008 seluruh anak usia 7-15 tahun dapat tertampung di tingkat pendidikan dasar. Namun tekad untuk mencapai target ini dihadapkan pada aneka hambatan, seperti persoalan guru, gedung, dan buku pelajaran.
Tulisan ini berisi gambaran sebagian hasil survei mengenai pelayanan pendidikan dasar di Indonesia dengan fokus pada tingkat keabsenan guru dan dampaknya terhadap kinerja belajar murid. Survei semacam ini masih jarang dilakukan secara nasional tentang fenomena keabsenan guru di Indonesia yang dilakukan melalui dua kali kunjungan tanpa pemberitahuan ke semua sekolah sampel. Guru disebut absen apabila pada saat peneliti tiba di sekolah, pada jam belajar, guru yang bersangkutan tidak berada di sekolah.
Di Indonesia terdapat dua sistem pendidikan dasar, masing-masing dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Depdiknas mengatur Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan kurikulum yang mata pelajaran utamanya adalah pengetahuan umum. Depag mengurus Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dengan kurikulum campuran yang mengajarkan baik pengetahuan umum maupun pengetahuan keislaman. Namun, fokus laporan ini ditujukan pada analisis hasil survei tentang fenomena keabsenan guru SD negeri yang berstatus pegawai penuh waktu.
Survei yang sama, dengan metoda penelitian serupa, dan dilaksanakan pada kurun waktu yang sama ini diadakan di tujuh negara lainnya, yaitu di Bangladesh, Ecuador, India, Papua New Guinea, Peru, Zambia dan Uganda. Hasil survei menunjukkan bahwa dengan tingkat keabsenan guru yang mencapai 19%, Indonesia menempati urutan ketiga setelah Uganda (39%) dan India (25%). Di Indonesia, 45% dari guru yang absen diisi oleh mereka yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, 36% beralasan sakit dan izin/cuti resmi, sisanya 19% beralasan melakukan tugas resmi di luar sekolah, seperti menghadiri rapat dan mengikuti pelatihan.
Daftar hadir guru tidak dapat dipergunakan untuk melihat keabsenan guru di sekolah. Hasil survei menunjukkan hanya 59% guru yang hadir menandatangani buku daftar hadir. Guru biasanya menandatangani daftar hadir pada saat akan pulang atau bahkan, membubuhkan tanda tangan sekaligus seminggu sekali. Guru yang absen pada umumnya adalah guru lelaki, memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi dan berstatus sebagai guru kontrak/honorer. Penyebab lain adalah sulitnya transportasi, kepala sekolah absen, tidak tersedia toilet, dan buruknya fasilitas pendukung sekolah secara umum.
Keabsenan guru di sekolah berpengaruh negatif terhadap kinerja belajar murid. Hal ini tidak begitu bermasalah bagi murid di perkotaan, karena umumnya selalu ada guru pengganti. Namun, di sekolah-sekolah di perdesaan, terutama di pedalaman, keabsenan guru menjadi persoalan serius karena jarang tersedia guru pengganti. Oleh karena itu, bila ada guru absen, kelas guru tersebut digabung dengan kelas lain dalam satu ruangan atau seorang guru terpaksa mengajar dua kelas pada ruang yang berbeda, atau peran guru digantikan oleh salah seorang murid senior. Bahkan, kerapkali jika guru absen maka murid guru tersebut disuruh pulang. Keadaan ini berpengaruh negatif terhadap kinerja belajar murid di perdesaan. Berdasarkan hasil tes matematika dan bahasa pada murid kelas IV SD dalam survei ini, ternyata nilai tes murid di perdesaan pada umumnya lebih rendah dibanding dengan murid di perkotaan. Proporsi murid di perdesaan yang mendapat nilai £ 50 (dalam kisaran 0-100) pada mata pelajaran matematika hampir dua kali lipat dibanding murid di perkotaan, dan bahkan, lebih dari tiga kali lipat pada mata pelajaran bahasa.
Kinerja belajar murid secara umum berkorelasi positif dengan masa kerja guru, berkorelasi positif bila rasio murid per guru £ 25, kemudian menjadi negatif di atas 25. Kinerja belajar murid sama-sama berkorelasi negatif dengan jumlah guru yang mempunyai pekerjaan tambahan dan guru perempuan. Namun murid perempuan menunjukkan kinerja belajar yang secara signifikan lebih baik daripada murid lelaki. Hal terakhir ini perlu dimaknai lebih sebagai persoalan daripada keberhasilan karena diduga terkait dengan dua hal. Pertama, dorongan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan anak perempuan belakangan ini tanpa disengaja agak mengabaikan anak lelaki. Kedua, bimbingan belajar anak di rumah cenderung diserahkan kepada ibu dan hal ini mungkin berpengaruh terhadap anak lelaki, apalagi kalau kebanyakan guru di sekolah adalah perempuan. Hasil survei ini mengungkapkan bahwa nilai tes matematika dan bahasa murid berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan formal ibu, tetapi tidak dengan tingkat pendidikan bapak.
Kondisi di atas menuntut pemerintah dan masyarakat, terutama pejabat Dinas Pendidikan kabupaten/kota, untuk melakukan evaluasi atas kebijakan di sektor pendidikan. Kesejahteraan guru secara umum perlu ditingkatkan dan insentif disediakan bagi guru yang bertugas di daerah pedalaman yang miskin. Pelaksanaan inspeksi memerlukan pengelolaan lebih ketat agar tidak menjadi sumber korupsi. Kebijakan pengalokasian guru diatur secara proporsional, baik dari segi jumlah maupun kualitas, antara sekolah di perdesaan dan perkotaan. Mutasi guru yang berprestasi pada sekolah di pedesaan ke sekolah di perkotaan semakin memperlebar kualitas murid di sekolah yang ada di pedesaan dengan yang di perkotaan Penempatan guru yang berpengalaman tidak boleh menjadi monopoli sekolah di perkotaan. Berbagai fasilitas pendukung dalam kegiatan belajar mengajar harus juga dibuat merata antara perkotaan dan perdesaan. Sebab, sekolah di perdesaan, terlebih-lebih di daerah miskin, merupakan tempat bergantungnya harapan kaum miskin dalam menyongsong penghidupan yang lebih baik bagi generasi penerus mereka.

Tidak ada komentar: